The Pop's

Posted by : Harry Ramdhani May 09, 2018

andai orang2 nyang diajak ngobrol liwat hengpon pada nongol di kreta... yha ndak mungkin!
Ayu Utami telah membuat fantasiku liar terhadap taman dari buku 'Saman'. Sebuah taman di mana Leila rela menemui Sihar jauh-jauh ke New York. Taman yang ditinggali hewan hanya untuk hidup bahagia. Gelandangan pun bisa tidur dengan nyenyak meski badannya dipenuhi debu. Dan di taman itu juga, tulis Ayu Utami, tak ada yang perlu ditangisi. Dosa seakan tidak tumbuh di taman itu.

***

Dan karena cerita tentang taman itu pula akhirnya aku membeli kumpulan cerita pendek 'Petang Panjang di Central Park' yang ditulis (alm) Bondan Winarno.

***

Kemudian aku selalu membayang ini: datang ke sebuah taman --seperti yang Ayu Utami gambarkan-- bersama pasangan. Aku membaca buku sedangkan dia sibuk dengan (kehidupan) gawainya. Sesederhana itu memang. Dan di taman itu kami saling memunggungi. Mungkin kami akan saling banyak diam. Namun, di taman itu kami akan saling memahami: hakikat kebahagiaan tidaklah satu, tapi saat di mana kita bisa saling mengerti kesukaan masing-masing. Mungkin ketika aku pergi ke taman itu aku akan membawa novel 'Le Petit Prince'. Entahlah. Sepertinya novel itu cocok saja. Lalu seperti yang aku jelaskan di awal, kamu akan sibuk dengan gawaimu. Mungkin kamu akan swafoto, mengunggahnya di Instagram dan menanyakan caption apa yang cocok untuk mengilustrasikan kebahagiaanmu di taman itu. Aku sarankan sebuah larik dari puisi Goenawan Mohamad: bersiap kecewa/ bersedih tanpa kata-kata. Dan kamu akan menanyakan artinya. Dan aku tidak akan menjawab apa-apa. Sebab keindahan antara taman, kamu dan puisi adalah keindahan yang hakiki.

***

Hanya syukur yang bisa aku panjatkan manakala masih diberi kesempatan membaca buku di kereta. Yha. Apalagi di sebuah perjalanan pulang pada suatu sore di mana besok adalah hari libur. Kukira kamu bisa bayangkan keadaannya dengan ilustrasi seperti itu. Aku keluarkan buku dari dalam tas, melanjutkan bacaan 'Saksi Mata' yang belum tuntas. Seorang perempuan masuk, sedikit tergesa dari stasiun berikutnya di mana aku semula naiki. Kami saling memunggungi di kereta. Aku bisa merasakan betapa tungkuk perempuan itu panas. Dan aku rasa perempuan itu merasakan disundul-sundul kepalanya oleh ikatan rambutku. Perempuan itu meletakan tasnya di bagasi atas. Sedikit mendorong ke depam karena penumpang sedang ramai. Sepertinya ia meminta maaf, tapi aku tidak terlalu jelas mendengar, telingaku tertutup pemutar musik.

***

Tidak ada gangguan. Kereta berjalan lancar. Hanya saja terasa sedikit pelan. Aku sungguh menikmati (1) cerita dari buku 'Saksi Mata' sekaligus (2) saling memunggungi dengan perempuan itu. Saat itu kereta laiknya masjid ketika ada sholat jumat: memberi ruang seberapapun banyaknya penumpang. Sesekali aku tertawa dengan bacaanku dan perempuan itu tertawa dengan orang-orang lain di luar sana lewat gawainya. Andai kereta ini sebuah taman --taman seperti yang digambarkan Ayu Utami-- mungkin aku akan seperti burung yang disinari matahari musim semi: bernyanyian dan mengajakmu pacaran.

***

Sesekali aku masih mendengar tawanya. Renyah sekali. Sedangkan aku, boro-boro bisa tertawa. Bagaimana bisa tertawa dengan segala kekejaman yang ada dalam cerita-cerita dari buku yang tengah aku baca: bola mata yang dicongkel dengan sendok untuk kemudian dijadikan bahan tambahan tangkleng, telinga-telinga yang dipotong karena menguping sebagai mata-mata sampai pembunuhan massal. Sesekali aku membayangkan guyon seperti apa yang ia dapatkan dari orang-orang nan-jauh-di-sana-itu? Jika aku bisa pelajari, aku akan mencoba menghibur perempuan itu sesering mungkin.

***

Baru kemudian aku sadar ketika seorang di depan perempuan itu hendak turun dari kereta di Tanjung Barat. Perempuan itu sedikit mendorongku hingga hampir tersungkur ke depan. Aku menoleh. Dan dia sedang memegang buku. Sekilas aku lihat sampulnya: didominasi warna putih dengan warna tulisan biru dan merah muda. Buku itu sedikit tebal. Aku ingat, itu novel 'Sophie Kinsella, My not so Perfect Life'. Buku bagus. Beberapa kali aku membaca resensinya. Kereta masih berjalan pelan. Aku sibuk dengan buku, begitu juga perempuan itu.

***

Andai kereta ini sebuah taman --taman seperti yang digambarkan Ayu Utami-- mungkin aku akan diam saja, memintamu menceritakan isi buku itu. Mendengarkanmu dengan saksama sampai selesai dan kita berkenalan. Namaku, Harry. Harry Ramdhani, siapa namamu?

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kangmas Harry - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -